Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) – Berdasarkan data dari KemenPPPA, telah ada 18.261 kasus KDRT yang terjadi di Indonesia hingga Oktober Tahun 2022. Kasus KDRT tidak berkurang justru semakin naik tiap tahunnya, dan kasus terbanyak adalah kekerasan terhadap istri.
Pembahasan tentang KDRT pun semakin marak di media sosial sejak adanya kasus KDRT pasangan artis Rizki Billar dan Lesti Kejora pada akhir tahun 2022. Dan pada awal tahun 2023 ini pun, publik digegerkan kembali dengan kasus KDRT pasangan artis Venna Melinda dan Feri Irawan.
Kasus KDRT seringkali disalahartikan dan dianggap hanya masalah intern rumah tangga. Padahal kasus KDRT justru menjadi masalah publik dan negara karena bahayanya dalam kehidupan sosial masyarakat.
Apa saja perbuatan yang masuk kategori KDRT? Berikut pengertian, jenis dan bahaya KDRT.
Pengertian KDRT
KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) atau sering disebut sebagai domestic violence adalah bentuk kekerasan yang berbasis gender dan terjadi di ranah personal. Tindakan kekerasan ini banyak terjadi pada hubungan yang bersifat personal seperti halnya antara suami dan istri, ayah dan anak, ibu dan anak, paman dan keponakan, kakek dan cucu, ataupun majikan dan pembantu.
Berdasarkan pada penjelasan pasal 1 UU Nomor 23 TAhun 2004 tentang PKDRT (Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga), KDRT didefinisikan sebagai,
“Perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan melawan secara hukum dalam lingkup rumah tangga.”
Permasalahan KDRT telah mendapatkan perhatian khusus dari negara dimana Undang-undang menjamin perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga dan akan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga. Tidak hanya itu, tujuan Undang-undang PKDRT dibuat sebenarnya yang pertama untuk mencegah terjadinya berbagai bentuk kekerasan dalam rumah tangga.
Adapun sanksi yang dijatuhkan pada pelaku tindak kekerasan dalam rumah tangga berdasarkan Ketentuan Pidana pada Pasal 44-53, meliputi kekerasan fisik yang tergolong berat, yang menyebabkan seseorang jatuh sakit atau luka berat dikenai sanksi maksimal 10 tahun.
Sedangkan yang menyebabkan korban meninggal dunia mendapatkan sanksi maksimal 15 tahun dan termasuk kekerasan fisik, psikis, dan seksual yang menyebabkan korban tidak sembuh, hilang ingatan, dan gugur atau matinya janin dalam kandungan (20 tahun).
Baca juga: Memahami Tujuan Pernikahan Menurut Ajaran Islam
Bentuk Tindakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
Tindak kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya berbentuk kekerasan fisik, tapi juga kekerasan psikologis dan seksual. Efek yang ditimbukan dari tindakan kekerasan ini bisa berupa cedera fisik, gangguan kesehatan mental, hingga kematian.
Berdasarkan penjelasan UU PKDRT diketahui bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga meliputi;
1. Kekerasan Fisik
Bentuk tindakan KDRT yang masuk dalam kategori kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Penjelasan ini tercantum dalam Pasal 6 UU PKDRT.
Tindak kekerasan fisik sering terjadi dalam banyak kasus KDRT yang dilaporkan pada pihak berwajib. Bentuk tindakan kekerasan fisik meliputi tindakan memukul, menampar, menendang, mencekik, menjambak, atau bahkan membakar anggota tubuh korban. Bahkan tak jarang pelaku kekerasan mengurung korban dan mengancam agar tidak melaporkan perbuatannya pada siapapun.
2. Kekerasan Psikis
Dalam pasal 7 UU PKDRT dijelaskan bahwa kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseoang.
Bentuk kekerasan psikis ini bisa berupa kekerasan emosional, intimidasi, dan ancaman seperti; mengucapkan kata-kata kasar, menghina, memaksa dan mengancam. Adapun bentuknya seperti menghina fisik, ancaman membunuh, ancaman menceraikan jika tidak nurut, pelecehan terhadap ajaran agama, etnis, ras, atau strata sosial antar pasangan.
Korban yang mengalami kekerasan psikis biasanya akan merasakan banyak ketidaknyamanan seperti; ketakutan, keresahan, ketegangan, stress, depresi, hingga keinginan untuk bunuh diri.
3. Kekerasan Seksual
Berdasarkan penjelasan dalam Pasal 8 UU PKDRT disebutkan bahwa kekerasan seksual adalah setiap perbuatan berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Tindak kekerasan seksual yang bisa terjadi pada korban bisa diketahui dengan beberapa ciri-ciri seperti; pasangan melakukan paksaan dalam berhubungan seksual, menyakiti selama berhubungan seksual, memaksa berhubungan tanpa mengenakan alat kontrasepsi, menyentuh anggota tubuh sensitif dengan cara yang tidak layak, ataupun memaksa untuk berhubungan seksual dengan orang lain.
4. Penelantaran Rumah Tangga
Penelantaran dalam rumah tangga adalah seseorang yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Penjelasan tentang bentuk penelantaran rumah tangga terdapat dalam Pasal 9 UU PKDRT.
Baca juga: Dibutuhkan Kemampuan Komunikasi Dalam Membangun Rumah Tangga
Bahaya Tindakan KDRT
Tindakan KDRT yang terjadi dalam keluarga tentunya bisa membahayakan semua anggota keluarga yang ada didalamnya. Misalnya KDRT yang dilakukan laki-laki pada istrinya bisa memicu kekerasan lanjutan pada anggota keluarga lainnya seperti anak-anak.
Anak-anak cenderung rentan dan berada dalam bahaya atas tindakan KDRT yang dilakukan pasangan suami atau istri. Sebagai contohnya, ketika istri mendapatkan kekerasan fisik maupun psikis dari suami, kecenderungan para istri akan melampiaskan kemarahannya pada anak-anaknya.
Bahaya tindakan KDRT yang dilihat oleh anak-anak justru yang paling dikhawatirkan, dimana mereka akan terganggu dari segi kejiwaannya. Perasaan ketakutan, perasaan tidak aman dan tidak nyaman, kebingungan, kemarahan dan ketidakjelasan arah akan menyelimuti sang anak.
Anak yang tumbuh dan menyaksikan KDRT sangat berisiko mengalami gangguan psikis, perilaku agresif dan rendah diri.
Dan lebih berbahaya lagi jikalau anak-anak yang melihat tindakan kekerasan atau penganiayaan sebagai bentuk penyelesaian masalah keluarga. Hal tersebut bisa berdampak, kedepan saat mereka dewasa, mereka akan menggunakan cara kekerasan untuk menyelesaikan masalahnya.
Tentunya bisa berdampak sistemik pada kehidupan sosial dan masyarakat. Kekerasan akan menjadi hal yang dimaklumi dan diwajari.
Baca juga: Konsultan Pernikahan Islam di Jakarta
Penyelesaian Masalah KDRT menjadi Tanggungjawab Bersama
Masih banyak anggapan bahwa masalah KDRT merupakan masalah privat dimana masyarakat atau publik tidak berhak ikut campur dalam penyelesaiannya. Namun, anggapan tersebut adalah keliru, karena penyelesaian masalah KDRT menjadi kewajiban masyarakat juga.
Adapun bentuk kewajiban masyarakat yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya KDRT berdasarkan pasal 15 UU KDRT yakni; ikut mencegah berlangsungnya tindak pidana, memberikan perlindungan kepada korban, memberikan pertolongan darurat, dan membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan kepada korban.
Adapun dalam Pasal 10, Undang-undang PKDRT yang menyebutkan tentang hak korban, yaitu; mendapatkan perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perlindungan dari pengadilan.
Korban KDRT bisa melaporkan tindak kekerasan yang dialami pada Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan dan Anak, Komisi Nasional Perempuan, atau Unit Pelayanan Perempuan dan Anak di kantor polisi.
Bagi Anda yang sedang memiliki masalah dalam pernikahan baik berupa masalah komunikasi, konflik, perbedaan pola asuh anak, KDRT, atau menghadapi perceraian, jangan sungkan dan segera hubungi konsultan pernikahan profesional dan terpercaya.